Seperti yang kita tahu, Dunkirk sudah dirilis 21 Juli kemarin. Film besutan Christopher Nolan itu sudah lama diantisipasi penonton yang ingin melihat bagaimana jadinya saat Nolan menggarap film perang. Nolan sendiri berkali-kali menolak untuk menyebut Dunkirk sebagai film perang, sebagaimana ia bersikukuh "It's a movie about survival." Meski begitu, tidak semua orang familiar dengan peristiwa Dunkirk, apalagi bagi orang Indonesia yang hidup di belahan dunia yang lain
Peristiwa di pesisir Dunkirk, Prancis, yang berlangsung antara 26 Mei hingga 4 Juni 1940 adalah salah satu tonggak sejarah yang mengubah jalannya alur Perang Dunia II. Terutama bagi rakyat Inggris, peristiwa yang sebetulnya adalah "kekalahan" pasukan Inggris di Prancis, dipandang sebagai sebuah kemenangan besar. Saat itu, lebih dari 400.000 tentara Inggris terjebak di pesisir Dunkirk oleh kepungan tentara Jerman. Banyaknya tentara yang terjebak diakibatkan oleh 30 kapal penjemput Inggris yang gagal mendarat di Dunkirk karena ditenggelamkan oleh Luftwaffe, angkatan udara Jerman.
Angkatan Laut Inggris pada akhirnya membentuk operasi penyelamatan yang melibatkan kapal-kapal nelayan di sekitar Dover, Inggris Selatan. Tentara Inggris terpaksa meninggalkan senjata, kuda, tank, dan artilerinya di Dunkirk agar muat di atas kapal nelayan. Meski merugi, operasi itu dianggap menuai keberhasilan besar dan dibanjiri berbagai pujian sehingga dikenal sebagai "Miracle of Dunkirk" karena berhasil membawa pulang lebih dari 338.000 tentara Inggris. Jumlah itu jauh melebihi target operasi, yang "hanya" sekitar 35.000 orang saja. Setelah itu, peristiwa ini memberikan kekuasaan penuh Jerman atas Prancis yang menyerah 18 hari kemudian. Tak butuh waktu lama, Miracle of Dunkirk dibuntuti serangan Luftwaffe ke daratan Inggris yang kemudian dikenal sebagai Battle of Britain, sekuel Dunkirk.
Tidak banyak film yang menceritakan keadaan awal Perang Dunia II, maka dari itu peristiwa-peristiwa di masa itu seringkali kalah populer dibanding cerita-cerita soal D-Day atau Perang Pasifik yang kerap difilmkan Amerika.
Boleh kita berandai, apa jadinya kalau Dunkirk dibuat universe-nya sendiri seperti yang sedang populer dilakukan franchise-franchise besar seperti Disney dengan Marvel Cinematic Universe-nya atau Warner Bros dengan DC Extended Universe-nya? Berikut beberapa film Inggris tentang Dunkirk dan Battle of Britain yang tentunya cocok dipadukan dengan Dunkirk besutan Nolan.
1) ATONEMENT [2007]
Jika ingin membuat serangkaian seri film untuk dirangkai menjadi satu universe tentang Dunkirk, film pertama yang menjadi pengantar haruslah Atonement. Berlatar belakang di Inggris tiga tahun sebelum perang dunia kedua dimulai, film yang dibintangi oleh Keira Knightley, Saorsie Ronan dan James McAvoy ini merupakan drama cinta segitiga seorang housekeeper dengan dua kakak-beradik majikannya. Rasa cemburu sang adik yang masih belia tanpa sadar membuat cinta monyet-nya itu terasing di penjara dan beberapa tahun kemudian dipaksa mengikuti perang. Puncak film ini terjadi saat setting tahun 1940 ketika pasukan Inggris terpaksa ditarik mundur dari Dunkirk, di mana Atonement menyajikannya dengan one-take shot menakjubkan sepanjang lima menit dengan sinematografi yang ciamik.
Tidak hanya itu, Atonement memanjakan penonton dengan cara storytelling yang unik, memainkan beberapa sudut pandang dan alur yang bervariasi. Diadaptasi dari novel berjudul sama karangan Ian McEwan, skrenario yang ditulis Christopher Hampton (Dangerous Liaisons, 1983; The Quiet American, 2002) menggiring penonton untuk mengetahui sebuah peristiwa dari beberapa sudut pandang untuk membiarkan penonton memberi interpretasinya masing-masing. Dialog yang dilontarkan pemain-pemainnya memaksa penonton masuk ke dimensi ketegangan yang membuat bulu tanganmu bergidik, apalagi ditambah dengan musik arahan Dario Marianelli (Beyond The Gates, 2005; Pride and Prejudice, 2005) yang menambah tensi film. Sutradara Joe Wright yang sebelumnya bekerja sama dengan Keira Knightley di Pride and Prejudice pun berhasil membuat chemistry Keira dan James secair-cairnya sehingga akting mereka berdua tidak hanya terlihat melankolis saat jauh namun juga intim saat bersama.
Tidak hanya itu, Atonement memanjakan penonton dengan cara storytelling yang unik, memainkan beberapa sudut pandang dan alur yang bervariasi. Diadaptasi dari novel berjudul sama karangan Ian McEwan, skrenario yang ditulis Christopher Hampton (Dangerous Liaisons, 1983; The Quiet American, 2002) menggiring penonton untuk mengetahui sebuah peristiwa dari beberapa sudut pandang untuk membiarkan penonton memberi interpretasinya masing-masing. Dialog yang dilontarkan pemain-pemainnya memaksa penonton masuk ke dimensi ketegangan yang membuat bulu tanganmu bergidik, apalagi ditambah dengan musik arahan Dario Marianelli (Beyond The Gates, 2005; Pride and Prejudice, 2005) yang menambah tensi film. Sutradara Joe Wright yang sebelumnya bekerja sama dengan Keira Knightley di Pride and Prejudice pun berhasil membuat chemistry Keira dan James secair-cairnya sehingga akting mereka berdua tidak hanya terlihat melankolis saat jauh namun juga intim saat bersama.
2) DUNKIRK [2017]
Setelah dibuka oleh film drama yang suspenseful, peristiwa dipukul mundurnya tentara sekutu hingga ke pesisir Dunkirk ini justru paling cocok diteruskan oleh film nonsentimental yang menggunakan pendekatan virtual reality dalam penyampainnya. Pada film ini, Nolan membuka film tanpa basa-basi, tanpa menceritakan latar belakang peristiwa, tanpa mengenalkan karakter-karakternya. Nolan menceritakan peristiwa Dunkirk melalui tiga alur cerita linier yang memiliki start point yang berbeda, masing-masing dari sudut pandang yang berbeda : orang awam, tentara angkatan darat, dan angkatan udara.
Beberapa tentara muda Inggris mengambil poster propaganda Jerman, menakut-nakuti mereka agar segera menyerah. Tak lama mereka berlarian menghindari peluru dan hanya satu orang saja yang selamat hingga ke pesisir pantai Dunkirk. Di sana terdapat 400.000 tentara sekutu yang menunggu kapal-kapal penjemput untuk pulang ke Inggris. Tak kunjung datang, kapal-kapal Inggris ternyata ditenggalamkan oleh pesawat bomber Jerman sehingga mereka pun kehilangan harapan.
Secara keseluruhan, film ini memvisualkan pengalaman nyata tentara Inggris selama hari-hari tanpa kejelasan. Kelaparan, depresi, dan rasa takut terhadap pesawat-pesawat Jerman yang sering memberondong tiba-tiba digambarkan sejelas-jelasnya oleh Nolan. Menonton film ini, membuat dirimu bersyukur dilahirkan di masa dan tempat yang tak mengharuskanmu ikut berpartisipasi dalam perang dunia. Jelas sekali, Nolan menggarisbawahi perihal petaka yang senantiasa menguntitmu ke mana pun kau pergi, sehingga rasa aman yang kau dambakan tak pernah tergaransi selama kau masih berada di sekitar perairan Perancis. Ketegangan yang tak sudah-sudah juga diperkuat dengan scoring Hans Zimmer, apalagi saat adegan pertempuran udara Tom Hardy dkk yang sejak awal kalah jumlah. Dan lagi, satu hal yang harus diperhatikan yaitu fakta bahwa tak ada satu tentara Jerman pun yang secara jelas terekam, mempertegas sisi horor Nazi Jerman itu sendiri.
Selain itu, penampilan Mark Rylance di film ini seakan menjadi oase tersendiri. Ia menunjukkan kemampuan aktingnya sebagai satu-satunya karakter yang sentimental di mana karakter-karakter lain cenderung tak berperasaan karena hanya fokus pada satu hal : selamat dari maut. Aktingnya seakan menjadi lentera dalam gelap, sekaligus pendingin suasana saat dibutuhkan.
Secara keseluruhan, film ini memvisualkan pengalaman nyata tentara Inggris selama hari-hari tanpa kejelasan. Kelaparan, depresi, dan rasa takut terhadap pesawat-pesawat Jerman yang sering memberondong tiba-tiba digambarkan sejelas-jelasnya oleh Nolan. Menonton film ini, membuat dirimu bersyukur dilahirkan di masa dan tempat yang tak mengharuskanmu ikut berpartisipasi dalam perang dunia. Jelas sekali, Nolan menggarisbawahi perihal petaka yang senantiasa menguntitmu ke mana pun kau pergi, sehingga rasa aman yang kau dambakan tak pernah tergaransi selama kau masih berada di sekitar perairan Perancis. Ketegangan yang tak sudah-sudah juga diperkuat dengan scoring Hans Zimmer, apalagi saat adegan pertempuran udara Tom Hardy dkk yang sejak awal kalah jumlah. Dan lagi, satu hal yang harus diperhatikan yaitu fakta bahwa tak ada satu tentara Jerman pun yang secara jelas terekam, mempertegas sisi horor Nazi Jerman itu sendiri.
Selain itu, penampilan Mark Rylance di film ini seakan menjadi oase tersendiri. Ia menunjukkan kemampuan aktingnya sebagai satu-satunya karakter yang sentimental di mana karakter-karakter lain cenderung tak berperasaan karena hanya fokus pada satu hal : selamat dari maut. Aktingnya seakan menjadi lentera dalam gelap, sekaligus pendingin suasana saat dibutuhkan.
3) BATTLE OF BRITAIN [1969]
Timeline bergeser beberapa jam saja setelah gabungan nelayan Inggris berhasil menyelamatkan lebih dari 338.000 tentara Inggris dari Dunkirk. Peristiwa ini akhirnya kerap disebut "Miracle of Dunkirk" yang menjadi titik balik kemenangan Blok Sekutu atas Blok Sentral. Tapi sebelum itu, tak lama berselang setelah peristiwa Dunkirk, Hitler memulai invasinya ke Britania.
Film ini dimulai dengan kegaduhan Royal Air Force, angkatan udara Inggris, yang sedang menyiapkan diri mempertahankan daratan Inggris dari serangan Jerman. Tak butuh waktu lama, Jerman menepati janjinya membombardir markas RAF di sepanjang pesisir selatan Inggris. Hal itu tak membuat Inggris tinggal diam, kali ini giliran Inggris yang menjatuhkan bom ke jantung kota Berlin hingga membuat Herr Fuhrer marah bukan kepalang. Ia memerintahkan bawahannya untuk membalas serangan Inggris dengan menjatuhkan bom di London, apapun caranya. Namun, kemarahan itu ternyata menjadi blunder bagi Jerman, meski London akhirnya porak poranda. Inggris mengubah strateginya dengan memperbanyak skuadron Spitfire dengan menurunkan pilot-pilot asing dari berbagai negara seperti Polandia, Kanada, dan Ceko, untuk menghabisi pesawat bomber Heinkel milik Luftwaffe Jerman yang minim perlindungan dari Messerschmitt. Serangan Jerman, dalam sekejap, gagal total.
Battle of Britain merupakan film yang dijejali action sequence yang detil. Adegan perang di udara terasa nyata, di mana kamu bisa merasakan pengalaman jadi pilot pesawat Spitfire atau bahkan Heinkel saat kepanasan, diberondong peluru, lalu keluar dari pesawatmu yang sedang terbakar. Diiringi musik yang sesekali berhasil menambah rasa patriotikmu, Battle of Britain menyuguhkan tontonan aksi yang selain menegangkan juga mengasyikkan. Ditambah lagi, kamu bisa menyaksikan bagaimana pengambilan keputusan strategis disampaikan melalui rantai komando yang rinci dari dua pihak yang berselisih.
Sayangnya, tidak seperti dua film sebelumnya, Battle of Britain terasa membosankan saat tidak menampilkan action sequence. Beberapa adegan terasa klise dan tidak memberi dampak signifikan pada perkembangan narasinya, seperti drama hubungan Colin dan Maggie Harvey, sepasang suami-istri yang sama-sama berperang untuk Sekutu namun terpisah karena masing-masing ditempatkan di pos yang berbeda. Meski begitu, Battle of Britain melakukan hal yang tidak dilakukan Nolan pada Dunkirk. Di satu sisi, Battle of Britain sangat mengapresiasi "tentara impor" atas kontribusi mereka pada kemenangan Inggris atas Jerman, sedangkan beberapa sejarawan mengkritik Dunkirk karena minimnya apresiasi terhadap tentara-tentara Prancis yang berkorban untuk tentara Inggris agar dapat pulang ke tanah kelahirannya.
Timeline bergeser beberapa jam saja setelah gabungan nelayan Inggris berhasil menyelamatkan lebih dari 338.000 tentara Inggris dari Dunkirk. Peristiwa ini akhirnya kerap disebut "Miracle of Dunkirk" yang menjadi titik balik kemenangan Blok Sekutu atas Blok Sentral. Tapi sebelum itu, tak lama berselang setelah peristiwa Dunkirk, Hitler memulai invasinya ke Britania.
Film ini dimulai dengan kegaduhan Royal Air Force, angkatan udara Inggris, yang sedang menyiapkan diri mempertahankan daratan Inggris dari serangan Jerman. Tak butuh waktu lama, Jerman menepati janjinya membombardir markas RAF di sepanjang pesisir selatan Inggris. Hal itu tak membuat Inggris tinggal diam, kali ini giliran Inggris yang menjatuhkan bom ke jantung kota Berlin hingga membuat Herr Fuhrer marah bukan kepalang. Ia memerintahkan bawahannya untuk membalas serangan Inggris dengan menjatuhkan bom di London, apapun caranya. Namun, kemarahan itu ternyata menjadi blunder bagi Jerman, meski London akhirnya porak poranda. Inggris mengubah strateginya dengan memperbanyak skuadron Spitfire dengan menurunkan pilot-pilot asing dari berbagai negara seperti Polandia, Kanada, dan Ceko, untuk menghabisi pesawat bomber Heinkel milik Luftwaffe Jerman yang minim perlindungan dari Messerschmitt. Serangan Jerman, dalam sekejap, gagal total.
Battle of Britain merupakan film yang dijejali action sequence yang detil. Adegan perang di udara terasa nyata, di mana kamu bisa merasakan pengalaman jadi pilot pesawat Spitfire atau bahkan Heinkel saat kepanasan, diberondong peluru, lalu keluar dari pesawatmu yang sedang terbakar. Diiringi musik yang sesekali berhasil menambah rasa patriotikmu, Battle of Britain menyuguhkan tontonan aksi yang selain menegangkan juga mengasyikkan. Ditambah lagi, kamu bisa menyaksikan bagaimana pengambilan keputusan strategis disampaikan melalui rantai komando yang rinci dari dua pihak yang berselisih.
Sayangnya, tidak seperti dua film sebelumnya, Battle of Britain terasa membosankan saat tidak menampilkan action sequence. Beberapa adegan terasa klise dan tidak memberi dampak signifikan pada perkembangan narasinya, seperti drama hubungan Colin dan Maggie Harvey, sepasang suami-istri yang sama-sama berperang untuk Sekutu namun terpisah karena masing-masing ditempatkan di pos yang berbeda. Meski begitu, Battle of Britain melakukan hal yang tidak dilakukan Nolan pada Dunkirk. Di satu sisi, Battle of Britain sangat mengapresiasi "tentara impor" atas kontribusi mereka pada kemenangan Inggris atas Jerman, sedangkan beberapa sejarawan mengkritik Dunkirk karena minimnya apresiasi terhadap tentara-tentara Prancis yang berkorban untuk tentara Inggris agar dapat pulang ke tanah kelahirannya.
Masih mengambil setting saat Battle of Britain, film arahan Lone Scherfig (One Day, 2011; An Education, 2009; Wilbur Wants to Kill Himself, 2002) ini menyuguhkan suasana perang dari jantung kota London dan dari sudut pandang yang jauh berbeda dari tiga film lainnya, yaitu peran perempuan biasa di balik keberhasilan propaganda perang Inggris. Senada dengan Atonement, Their Finest juga diangkat dari novel yang berjudul Their Finest Hours and a Half karya Lissa Evans yang kemudian diadaptasi oleh Gaby Chiappe (Lark Rise to Candleford, 2008-2010) untuk film ini.
Saat itu, Inggris sedang dalam keadaan putus asa untuk menambah kekuatan perangnya. Winston Churchill harus mengerahkan segala kemampuan yang ia miliki sebagai perdana menteri untuk membalikkan keadaan perang. Kementrian Informasi kemudian didapuk untuk membentuk propaganda yang kuat. Atas rekomendasi Churchill, mereka ditugaskan membuat film patriotis yang harus bisa membangkitkan semangat rakyat Inggris dan juga menggaet hati Amerika untuk membantu Inggris melawan Jerman. Dan lagi, Kementrian Perang Inggris mengharuskan film ini harus berdasar dari kisah nyata. Tak ayal, mereka harus memutar otak siang dan malam untuk mewujudkannya,
Titik fokus Their Finest terletak pada Gemma Arteton yang berperan sebagai Catrin Cole, seorang screenwriter yang baru saja direkrut oleh Kementrian Informasi Inggris. Diawali dengan idenya untuk membuat film tentang sepasang anak kembar yang turut membantu menyelamatkan tentara di Dunkirk, Catrin harus menanggung beban berat setelah tahu kisah yang akan ia angkat ternyata bukanlah kisah nyata. Ditambah atasan yang kurang bersahabat hingga pihak-pihak lain yang berkepentingan, hanyalah sedikit dari banyak hambatan bagi Catrin untuk menyelesaikan skripnya. Selain itu, perang yang sedang berkecamuk di London juga memaksanya untuk kehilangan satu-persatu hal yang paling berharga buatnya.
Sepanjang film, Gemma Arteton mampu merubah diri seutuhnya menjadi Catrin Cole, meninggalkan sosok karakter-karakter lain yang pernah ia mainkan tak bersisa. Ia membawa penonton untuk bersama-sama mengikuti naik-turun emosi karakter yang diperankannya, mulai dari perasaan gembira diterima kerja, jijik dengan lingkungan barunya, hingga hancur lebur di akhir ceritanya. Tak hanya Gemma, akting Bill Nighy juga patut diapresiasi lebih. Bill nampak elegan memainkan perubahan karakternya yang signifikan, dari skeptis menjadi penuh empati.
Meski tergolong story-driven, kuatnya character building dalam film ini tidak begitu saja meluluhlantakkan narasinya. Gemma Arteton, Bill Nighy, dan Sam Claflin dapat terlihat sempurna memainkan perannya masing-masing, seakan-akan mereka adalah boneka-boneka wayang bagi sang dalang Lone Scherfig, yang dengan gemulai menarik senar-senar tipis sambil melancarkan brit puns yang sesekali menggelitik.
Saat itu, Inggris sedang dalam keadaan putus asa untuk menambah kekuatan perangnya. Winston Churchill harus mengerahkan segala kemampuan yang ia miliki sebagai perdana menteri untuk membalikkan keadaan perang. Kementrian Informasi kemudian didapuk untuk membentuk propaganda yang kuat. Atas rekomendasi Churchill, mereka ditugaskan membuat film patriotis yang harus bisa membangkitkan semangat rakyat Inggris dan juga menggaet hati Amerika untuk membantu Inggris melawan Jerman. Dan lagi, Kementrian Perang Inggris mengharuskan film ini harus berdasar dari kisah nyata. Tak ayal, mereka harus memutar otak siang dan malam untuk mewujudkannya,
Titik fokus Their Finest terletak pada Gemma Arteton yang berperan sebagai Catrin Cole, seorang screenwriter yang baru saja direkrut oleh Kementrian Informasi Inggris. Diawali dengan idenya untuk membuat film tentang sepasang anak kembar yang turut membantu menyelamatkan tentara di Dunkirk, Catrin harus menanggung beban berat setelah tahu kisah yang akan ia angkat ternyata bukanlah kisah nyata. Ditambah atasan yang kurang bersahabat hingga pihak-pihak lain yang berkepentingan, hanyalah sedikit dari banyak hambatan bagi Catrin untuk menyelesaikan skripnya. Selain itu, perang yang sedang berkecamuk di London juga memaksanya untuk kehilangan satu-persatu hal yang paling berharga buatnya.
Sepanjang film, Gemma Arteton mampu merubah diri seutuhnya menjadi Catrin Cole, meninggalkan sosok karakter-karakter lain yang pernah ia mainkan tak bersisa. Ia membawa penonton untuk bersama-sama mengikuti naik-turun emosi karakter yang diperankannya, mulai dari perasaan gembira diterima kerja, jijik dengan lingkungan barunya, hingga hancur lebur di akhir ceritanya. Tak hanya Gemma, akting Bill Nighy juga patut diapresiasi lebih. Bill nampak elegan memainkan perubahan karakternya yang signifikan, dari skeptis menjadi penuh empati.
Meski tergolong story-driven, kuatnya character building dalam film ini tidak begitu saja meluluhlantakkan narasinya. Gemma Arteton, Bill Nighy, dan Sam Claflin dapat terlihat sempurna memainkan perannya masing-masing, seakan-akan mereka adalah boneka-boneka wayang bagi sang dalang Lone Scherfig, yang dengan gemulai menarik senar-senar tipis sambil melancarkan brit puns yang sesekali menggelitik.
5) HOPE AND GLORY [1987]
Semua orang ingin akhir yang bahagia. Untuk itu, Hope and Glory hadir untuk melengkapi Dunkirk Universe. Film ini adalah film komedi yang mengajarkan kita untuk menikmati sedikit euforia dalam derita. Meski begitu, Hope and Glory tidak hadir untuk menambah glorifikasi perang. Sebaliknya, ia hadir sebagai anti-war movie. Bill Rohan mungkin hanyalah satu dari ribuan bocah biasa yang menderita di tengah Battle of Britain, namun kepolosannya justru mengajak kita untuk menertawakan perang itu sendiri. Karenanya, Hope and Glory cocok menjadi penutup di mana perang yang menjadi momok punya cara lain untuk dinikmati.
Bercerita tentang keluarga Rohan yang tinggal di pinggiran London saat Battle of Britain. Serangan bom yang dilancarkan Jerman memang memiliki kengerian yang luar biasa, naum hal ini berbeda di mata Bill Rohan dan teman-temannya. Mereka mengagumi gemerlapnya serangan artileri blitzkrieg bagai kembang api saat tahun baru, mengoleksi shrapnel (pecahan bom) untuk beradu gengsi dengan teman-teman sebaya, dan merayakan sekolah mereka yang dibom karena kemudian sekolah terpaksa diliburkan. "Thank you, Adolf!", ujar salah satu dari mereka.
Tidak hanya itu, narasi film ini dibuat ringan hingga lebih terlihat seperti slice of life tanpa mempedulikan transisi alurnya berkesinambungan atau tidak. Bahkan ketika keluarga Rohan terpaksa meninggalkan rumah mereka yang hancur karena bom lalu mengungsi ke rumah kakek di pedesaan. Sedikit demi sedikit, permasalahan keluarga yang kompleks bersamaan dengan berlangsungnya perang pun hanya menjadi bahan tertawaan pada akhirnya. Ditulis dan diarahkan dengan brilian oleh John Boorman (Point Blank, 1967; Deliverance, 1972), Hope and Glory merupakan salah satu film komedi satir Inggris terbaik sepanjang sejarah.
Bercerita tentang keluarga Rohan yang tinggal di pinggiran London saat Battle of Britain. Serangan bom yang dilancarkan Jerman memang memiliki kengerian yang luar biasa, naum hal ini berbeda di mata Bill Rohan dan teman-temannya. Mereka mengagumi gemerlapnya serangan artileri blitzkrieg bagai kembang api saat tahun baru, mengoleksi shrapnel (pecahan bom) untuk beradu gengsi dengan teman-teman sebaya, dan merayakan sekolah mereka yang dibom karena kemudian sekolah terpaksa diliburkan. "Thank you, Adolf!", ujar salah satu dari mereka.
Tidak hanya itu, narasi film ini dibuat ringan hingga lebih terlihat seperti slice of life tanpa mempedulikan transisi alurnya berkesinambungan atau tidak. Bahkan ketika keluarga Rohan terpaksa meninggalkan rumah mereka yang hancur karena bom lalu mengungsi ke rumah kakek di pedesaan. Sedikit demi sedikit, permasalahan keluarga yang kompleks bersamaan dengan berlangsungnya perang pun hanya menjadi bahan tertawaan pada akhirnya. Ditulis dan diarahkan dengan brilian oleh John Boorman (Point Blank, 1967; Deliverance, 1972), Hope and Glory merupakan salah satu film komedi satir Inggris terbaik sepanjang sejarah.
***
Listening to : Plastic Girl In The Closet - Starry Stairway